Meningkatkan Motivasi Belajar Serta Pendidikan Karakter Peserta Didik Melalui Pembelajaran Sastra dan Karya Sastra
Mata
pelajaran bahasa Indonesia hadir di berbagai jenjang pendidikan. Dalam
kurikulum 2013, mata pelajaran bahasa Indonesia menduduki peran yang penting.
Kurikulum 2013 yang disebut–sebut sebagai kurikulum berbasis teks menempatkan
mata pelajaran bahasa Indonesia sebagai central atau pusat dalam
pembelajarn di segala aspek.
Berkait
dengan tujuan kurikulum 2013 mencapai pendidikan karakter yang bermutu, maka
setiap mata pelajaran diwajibkan untuk memuat subtansi tersebut, termasuk mata
pelajaran bahasa Indonesia. Wujud dari pendidikan karakter ini beragam, mulai
dari konsep pikiran peserta didik yang berkarakter hingga wujud dalam perilaku
yang nyata. Tentu saja perwujudan pendidikan karakter menuju pada sesuatu yang
bersifat baik atau positif. Salah satu perwujudan tersebut ialah kepemilikan semangat
atau motivasi belajar dari peserta didik dalam pemerolehan ilmu serta
partisipasi positifnya dalam kegiatan pendidikan, terutama dalam kegiatan
belajar.
Masalah
yang kerapkali terjadi adalah kurangnya minat belajar dari peserta didik yang
dikarenakan oleh beberapa faktor, baik faktor yang bersifat internal maupun
faktor yang bersifat eksternal. Kurangnya motivasi belajar peserta didik akan
berdampak pada kekondusifan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Bagaimana
mungkin pembelajaran akan berhasil jika peserta didik belum mempunyai semanagt
belajar. Sudah tentu, pembelajaran akan sia-sia walaupun pendidik/guru
bersemangat dalam mengajar. Karenanya, pendidik harus pandai dalam memotivasi
anak didiknya untuk belajar dan sadar akan pentingnya pendidikan.
Kegiatan
dalam meningkatkan motivasi belajar yang dilakukan oleh pendidik/guru
bermacam-macam. Alangkah baiknya jika dalam memotivasi peserta didik
menggunakan metode yang relevan dengan mata pelajarn yang diampuhnya. Jadi,
selain mampu memotivasi para siswa tujuan dalam pembelajaran dapat tercapai
juga. Metode atau cara memotivasi semangat belajar dan sadar mengenai urgensi
pendidikan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dapat dilakukan menggunakan
media perantara yang dalam ranah psikologi
pendidikan berkait dengan istilah dukungan sistem,
dalam hal ini adalah melalui karya sastra.
Melalui pembelajaran sastra menggunakan karya sastra dengan acuan dapat
memotivasi siswa serta memberikan pendidikan karakter pada siswa.
II.
Rumusan Masalah
A. Hakikat
Karya Sastra Dan Pendidikan Karakter
B. Pembelajaran Bersastra yang Relevan Bagi
Pengembangan Karakter
C. Membangun Motivasi Belajar dan
Pendidikan Karakter Melalui Karya Sastra
III.
Paparan Ide
Inovatif
A.
Hakikat
Karya Sastra dan
Pendidikan Karakter
Sastra
sebagai cerminan keadaan sosial budaya bangsa haruslah diwariskan
kepada generasi mudanya. Menurut
Herfanda (2008:131), sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat
kearah perubahan, termasuk perubahan karakter. Sebagai ekspresi seni
bahasa yang bersifat reflektif sekaligus
interaktif, sastra dapat menjadi
spirit bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu
bangsa ke arah yang lebih baik, penguatan rasa
cinta tanah air, serta sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral
bagi perubahan sosial budaya dari
keadaan yang terpuruk dan ’terjajah’ ke keadaan yang mandiri dan merdeka.
Tentulah spirit-spirit tersebut menjadi bagian terpenting dari pendidikan
karakter peserta didik. Artinya, sastra
tidak hanya sekadar menjadi sesuatu yang
mampu memberikan kemenarikan dan hiburan serta yang mampu menanamkan dan
memupuk rasa keindahan, tetapi juga yang
mampu memberikan pencerahan mental dan intelektual.
Dalam Keadaan demikian, menurut Ismail
dan Suryaman (2006) sastra haruslah sudah diperkenalkan kepada anak
sejak usia dini. Hal ini dimaksudkan agar kemampuan literasi tumbuh sehingga
budaya baca berkembang. Kemampuan literasi tidak dapat tumbuh tanpa usaha sadar
dan terencana. Usaha sadar dan
terencana itu di antaranya adalah melalui penyediaan sarana dan prasarana
baca, seperti buku dan perpustakaan, yang dapat dimulai dari buku-buku
sastra. Selain mengandung keindahan, karya
sastra juga memiliki nilai
manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan karya sastra berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah paradigma bahwa sastra yang baik
menciptakan kembali rasa kehidupan, baik
bobotnya maupun susunannya; menciptakan
kembali keseluruhan hidup yang dihayati: kehidupan emosi, kehidupan budi,
individu maupun sosial, serta dunia yang sarat objek (Ismail dan Suryaman,
2006). Penciptaannya dilakukan bersama-sama
dan secara saling berjalinan,
seperti terjadi dalam kehidupan yang kita
hayati sendiri. Namun, kenyataan ini di dalam sastra di hadirkan melalui
proses kreatif. Artinya,
bahan-bahan tentang kenyataan telah dipahami melalui proses penafsiran baru
dalam perspektif pengarang. Karya sastra
memang merupakan dokumen sosial, yang lebih dahulu disebut jalan keempat
ke Kebenaran: melalui sastra
pembaca seringkali jauh lebih
baik daripada melalui tulisan-tulisan
nonsastra serta dapat menghayati hakikat eksistensi manusia dengan segala permasalahannya. Disinilah segi keindahan
dan kebermanfaatan dari karya sastra,
yakni gambaran kenyataan dalam subjektivitas pengarang. Kenyataan di dalam karya sastra
ibarat bahan-bahan untuk membuat ”sop buntut”. ”Sop buntut” yang siap disantap adalah karya sastra. Rasa,
aroma, dan kekhasannya adalah hasil dari
subjektivitas ”sang koki”.
Secara
teori, Abrams (1981) telah memberikan pemetaan mengenai karya
sastra ke dalam empat paradigma.
Paradigma pertama adalah mengenai karya sastra sebagai karya objektif (sesuatu
yang otonom, terlepas dari unsur
apapun). Paradigma kedua adalah mengenai karya sastra sebagai karya mimesis
(tiruan terhadap alam semesta). Paradigma
ketiga adalah mengenai karya sastra
sebagai karya pragmatis (yang memberikan manfaat bagi pembaca).
Paradigma keempat Adalah mengenai
karya sastra sebagai karya
ekspresif (pengalaman dan pemikiran pencipta). Dengan demikian,
karya sastra memang memiliki segi manfaat bagi pembaca,
khususnya berkenaan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar
pembaca lebih mampu menerjemahkan
persoalan-persoalan hidup melalui kesalehan sosial dan kesalehan ritual.
Berdasarkan paparan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa sastra
dengan demikian dapat berfungsi sebagai media pemahaman budaya suatu
bangsa (yang di dalamnya terkandung pula pendidikan karakter).
Melalui novel, misalnya, model kehidupan dengan
menampilkan tokoh-tokoh cerita sebagai
pelaku kehidupan menjadi representasi dari budaya masyarakat (bangsa). Tokoh-tokoh cerita
adalah tokoh-tokoh yang bersifat, bersikap, dan berwatak. Kita dapat belajar dan memahami tentang berbagai
aspek kehidupan melalui pemeranan oleh tokoh tersebut, termasuk berbagai
motivasi yang dilatari oleh keadaan sosial budaya tokoh itu. Hubungan yang terbangun
antara pembaca dengan dunia cerita dalam sastra adalah hubungan personal. Hubungan demikian
akan berdampak kepada terbangunnya daya
kritis, daya imajinasi, dan rasa
estetis. Melalui sastra, pesertadidik tidak hanya belajar budaya konseptual dan intelektualistis, melainkan
dihadapkan kepada situasi atau model
kehidupan konkret. Sastra dapat dipandang sebagai budaya dalam tindak (culture in action), dan
membaca sastra Indonesia misalnya, berarti mempelajari kehidupan
bangsa Indonesia. Tentulah fungsi sastra tersebut perlu mendapatkan penegasan
di dalam orientasi penciptaannya agar terbangun karakter yang kuat bagi
pembaca. Menurut Herfanda (2008:132) bentuk penegasan di dalam penciptaan
sastra perlulah diorientasikan
kepada hal-hal yang bersifat pragmatik,
yakni orientasi pada kebermanfaatan
sastra sebagai media pencerahan dan pencerdasan masyarakat.
B.
Pembelajaran
Bersastra yang Relevan Bagi Pengembangan Karakter
Dalam
pembelajaran bersastra dikehendaki terjadinya
kegiatan bersastra, yaitu kegiatan menggunakan bahasa dan estetika
(Rusyana dan Suryaman, 2005).
Jadi, berbagai unsur sastra, seperti tokoh, penokohan, alur cerita, latar
cerita di dalam prosa; unsur bentuk dan makna
di dalam puisi; dialog dan teks pelengkap di dalam drama tidaklah
diajarkan secara berdiri sendiri sebagai unsur-unsur yang terpisah, melainkan
dalam susunan yang padu sebagai karya cipta yang indah di dalam kegiatan
mendengarkan, kegiatan berbicara, kegiatan membaca, dan kegiatan menulis.
Kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis itu digunakan dalam kegiatan berapresiasi,
yaitu oleh seseorang dalam berhubungan dengan karya sastra. Sastra di dalam
kegiatan berapresiasi digunakan untuk bertukar pikiran, perasaan, pendapat,
imajinasi, dan sebagainya sehingga terjadi kegiatan sambut-menyambut. Kegiatan
bersastra itu serempak dilakukan dalam kegiatan lain, baik kegiatan jasmani
maupun kegiatan rohani. Kegiatan bersastra
dilakukan serempak dengan kegiatan menggunakan tangan, kaki, kepala, pancaindra,
dan sebagainya. Kegiatan bersastra pun dilakukan serempak dengan kegiatan
merasa, berpikir, berimajinasi, dan sebagainya. Kegiatan bersastra serta
kegiatan berbuat itu terjadi dalam
konteks, berupa tempat, waktu, dan suasana. Didalamnya terdapat tanah, air, udara, cahaya, tumbuhan,
binatang, manusia dengan
masyarakat dan budayanya, serta Tuhan
dan alam ciptan-Nya. Bagian-bagian yang ada
di dalam pembelajaran bersastra itulah yang dimaksud dengan konteks-konteks
belajar.
Berdasarkan paparan tersebut dapat
disimpulkan bahwa kegiatan bersastra
yang efektif adalah kegiatan yang mengarah pada
berapresiasi secara luas, bukan
sebatas bahasan yang sifatnya kognitif. Hal ini sejalan dengan batasan menurut
Effendi (1982:70) bahwa berapresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra
dengan sungguh-sungguh sampai menimbulkan pengertian, penghargaan,
kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Dengan demikian, tujuan pembelajaran
bersastra adalah tumbuhnya pengertian,
penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap
cipta sastra pada diri peserta didik. Kegiatan berapresiasi meliputi membaca
beragam karya sastra, mempelajari teori sastra, mempelajari esei dan kritik
sastra, serta mempelajari sejarah sastra. Di samping itu, perlu pula dilakukan kegiatan pendokumentasian atas informasi mengenai karya sastra
serta kegiatan kreatif, yakni
menulis karya sastra dan menulis bahasan terhadap karya sastra. Kegiatan-kegiatan seperti ini
tentulah akan mengatasi kendala kurang
tersedianya buku-buku sastra
diperpustakaan sekolah. Kegiatan
pendokumentasian dan kegiatan kreatif
itu dilihat dari segi pembelajaran ditujukan untuk meningkatkan apresiasi
terhadap sastra agar peserta didik
memiliki kepekaan terhadap sastra yang
baik dan bermutu yang akhirnya
berkeinginan membacanya. Hal ini sesuai dengan salah satu bentuk dari
pembelajaran bersastra, yakni melalui kewajiban bagi peserta didik untuk membaca karya-karya
sastra bermutu. Di seluruh negara
di dunia, sekolah mewajibkan para
peserta didiknya untuk membaca
buku sastra (bukan bertujuan
supaya peserta didik jadi sastrawan, tetapi agar terbentuk dan terlatih
kebiasaan serta kesenangan membaca buku pada
umumnya).
Pembelajaran sastra, dengan demikian,
ditujukan untuk berbagai kepentingan. Beberapa kepentingan di antaranya adalah menjadikan peserta didik mahir membaca dan menulis serta mahir
mendengarkan dan melisankan. Jika kepentingan ini tercapai, belajar bersastra
akan dirasakan manfaatnya oleh peserta
didik oleh karena mereka dipermudah untuk mempelajari bidang-bidang
lainnya di sekolah. Dampak ikutan lainnya
adalah tumbuhnya kebiasaan
membaca yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian
tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide
baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa dan karsa,
serta terbinanya watak dan kepribadian.
Di sinilah esensi pendidikan karakter teridentifikasi dengan jelas didalam
pembelajaran sastra.
C.
Membangun
Motivasi Belajar dan Pendidikan Karakter Melaui Karya Sastra
Tema, penokohan, dan amanat merupakan
unsur instrinsik yang ada di dalam karya sastra, termasuk dalam novel/cerpen.
Secara sederhana, tema dapat diartikan sebagai gagasan atau pokok yang menjiwai
sebuah karya sastra, contohnya tema mengenai kepahlawanan, pendidikan, kritik
sosial, percintaan, persahabatan, kekeluargaan, dsb. Penokohan adalah perilaku,
sikap serta sikap yang dimiliki dari masing-masing tokoh, misalnya baik, jahat,
pengkhianat, setia, rela berkorban, rendah hati, sabar, bijaksana, pemarah, pemalu,
angkuh, kejam, dsb. Sedankan amanat adalah pesan yang ingin disampaikan penulis
kepada pembaca melalui karyanya. Contohnya, jangan menjadi anak yang sombong,
sayangi teman terdekatmu, berhati-hati dalam berucap, dsb.
Karya sastra memang bersifat imajinatif.
Meskipun demikian, cerita yang diangkat dalam karya sastra merupakan sebuah
cerminan dari kehidupan. Kebanyakan cerita yang diangkat dalam karya sastra
adalah permasalahn yang secara nyata terjadi di dalam kehidupan sehari-hari,
hanya saja dalam penyajiannya lebih didramatisasikan. Karena ceritanya
diangkat permasalahan yang terjadi di kehidupan sehari-hari maka bukan tidak
mungkin pembaca akan lebih dapat meresapi makna cerita serta mengapresiasi baik
dan buruknya cerita tersebut.
Harapannya adalah pembaca yang dalam
kajian ini adalah para peserta didik dapat tergugah dan merasa terkritiki oleh
cerita yang disajikan oleh pendidik/guru. Kemudian, secara sadar mau berubah
secara bertahap menuju ke arah yang lebih baik. Hal ini dilakukan karena banyak
peserta didik yang membantah dan bersikeras menganggap bahwa apa yang
dilakukannya selalu benar, menganggap sekolah sebagai perwujudan mengisi
kegiatan saja tanpa mau menyadari dan mengusahakan yang terbaik dalam
pemerolehan prestasi dan ilmu pengetahuan sebagai bekal masa depan.
Kendala yang mungkin terjadi dalam
penerapan metode ini adalah kurangnya porsi pengenalan sastra. Jadi, dalam mata
pelajaran bahasa Indonesia, porsi pembelajaran bahasa lebih banyak daripada
porsi pembelajaran sastra. Padahal, ranah bahasa dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia pencapaian akhirnya adalah sama seperti mata pelajaran eksak yakni
menuju ke segi kognitifitas. Berbeda dalam pencapaian pembelajaran sastra yang
pencapaiannya adalah mematangkan kecerdasan emosi dan pengalaman. Dalam jam
yang terbatas itu, pendidik/guru dapat menugaskan peserta didik untuk membaca
novel/cerpen dengan cerita yang akan memotivasi atau dengan menonton karya
sastra yang telah dialihwahanaan menjadi film.
Jadi, sebagai pilihan diantaranya adalah
novel Sang Pemimpi, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi, dll.
1. Novel
Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata
Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata
menceritakan tentang kisah perjuangan sepuluh anak dari daerah yang terpencil
di Belitong Timur dalam memperoleh pendidikan. Keadaan mereka jauh di bawah
sederhana. Tidak ada fasilitas yang memadai di SD Muhammadiyah temoat mereka
bersekolah. Sama seperti keadaan ekonomi mereka yang juga kurang dari cukup.
Pada novel ini juga
berisi
empat nilai pendidikan yang dapat diajarkan diluar lingkungan sekolah.
Nilai-nilai pendidikan yang biasanya terdapat di lingkungan masyarakat. Empat
nilai tersebut yakni nilai sosial, nilai kepribadian, nilai filosofis, dan
nilai religi. Pembelajaran Nilai-nilai
edukatif dapat dilakukan Dengan model pembelajaran PAIKEM. Model pembelajaran
PAIKEM adalah model-model pembelajaran
inovatif akan memperkaya guru dalam memgajar dan memotivasi siswa untuk
lebih aktif, kreatif, dan menyenangkan dalam proses belajar mengajar di kelas.
Konsep pembelajaran Aktif ini
sering disebut dengan Pembelajaran
Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM). Gambaran
rancangan pembelajaran sastra dengan berbasis PAIKEM perlu dimulai dengan
penjelasan mengenai ruang lingkup sastra itu sendiri sehingg siswa tau arah dan
tujuan pembelajaran tersebut.
Hal yang menjadi sorotan ialah semangat
mereka dalam memperoleh pendidikan serta usaha mereka dalam mewujudkan
cita-cita. Mereka membuktikan bahwa cita-cita dapat tercapai bukan karena
berasal dari kalangan yang berkecukupan, bukan pula dari fasilitas sekolah
sebagai penunjang. Dalam keadaan yang kurangpun mereka mampu mewujudkan
cita-cita dan berhasil memperoleh janji kehidupan yang lebih baik. Apalagi kita
yang berada di lingkungan yang serba memudahkan juga dari sekolah yang memiliki
fasilitas yang cukup atau menunjang.
2. Novel
Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi
Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi
menceritakan tentang persahabatan dari 6 remaja yang bersekolah di sebuah
ponpes di Ponorogo. Mereka memegang teguh ajaran yang ustad mereka sampaikan,
yaitu Man Jadda Wa Jadda yang artinya, siapa yang bersungguh-sungguh
pasti akan berhasil. Jadi, dalam segala hal mereka mengupayakan yang terbaik
yang bisa mereka lakukan.
Meskipun hanya bersekolah di ponpes,
merea mempunyai cita-cita yang tinggi. Mereka mempunyai kegiatan yang unik,
yakni setiap sore mereka bersantai di bawah sebuah menara yang ada di ponpes
sembari saling berbagi cerita tentang keinginan atau cita-cita mereka kelak.
Tetapi siapa sangka, mereka ternyata mampu mewujudkan cita-cita yang mereka
impikan dengan usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras.
Motivasi yang terdapat dalam novel
Negeri 5 Menara adalah dalam mencapai apapun dibutuhkan suatu usaha yang
sungguh-sungguh serta kerja keras. Tanpa hal tersebut, cita-cita tidak akan
tercapai, kalaupun tercapai tentu tidak akan terasa indah indah dan maksimal.
IV.
Landasan
Teori
Nilai edukatif merupakan nilai menuju
kebaikan dan keluhuran manusia.
Tillman (2004 : 6), mengemukakan bahwa
nilai edukatif, yaitu nilai untuk mengekspresikan
gagasan-gagasan, menggali apa yang dapat
kita lakukan untuk membuat dunia lebih
baik. Niilai edukatif mencangkup empat nilai, diantarnya nilai sosial, nilai
kepribadian, nilai filosofis, dan nilai religius. Berikut ini disajikan
pengertian empat nila leibih lanjut: Dari pendapat para ahli di tarik kesimpulan bahwa nilai edukatif adalah
batasan segala sesuatu yang mendidik ke arah kedewasaan, bersifat
baik maupun buruk sehingga berguna bagi kehidupannya yang
diperoleh melalui proses pendidikan.
Proses pendidikan bukan berarti hanya dapat dilakukan dalam satu tempat dan
suatu waktu. Pendidikan juga dapat dilakukan dengan pemahaman, pemikiran, dan
penikmatan karya sastra. Karya sastra sebagai pengemban nilai-nilai pendidikan
diharapkan keberfungsiannya untuk
memberikan pengaruh positif
terhadap cara berpikir pembaca mengenai
baik dan buruk, benar dan salah. Hal ini karena karya sastra merupakan salah
satu sarana mendidik diri serta
orang lain sebagai unsur anggota masyarakat. Dalam karya
sastra memuat nilai-nilai kehidupan karya sastra yang bukan semata-mata sebagai hiburan belaka
tetapi juga harus bisa memberikan ajaran kebaikan kepada pembacanya atau para penikmat sastra dengan demikian karya sastra bukan semata-mata sebagai karya
seni saja tetapi bisa juga tuntunan atau ajaran-ajaran kehidupan bagi
masyarakat, karena sastra yang baik mampu mempengaruhi sikap dan tingkah laku
pembaca atau penikmat sastra, perilaku itu akan nampak dalam kehidupan
sehari-hari baik sebagai pribadi (individu) maupun sebagai makhluk soisal.
V.
Kesimpulan
Secara hakiki sastra merupakan
media pencerahan mental dan intelektual
peserta didik yang menjadi bagian terpenting di dalam pendidikan karakter,
seperti kebangkitan suatu bangsa ke arah
yang lebih baik, penguatan rasa cinta tanah air, serta sumber inspirasi dan
motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial budaya melalui kegiatan literasi sehingga budaya
baca berkembang. Terdapat beragam materi
bersastra yang harus diapresiasi siswa, baik melalui kegiatan mendengarkan,
melisankan, membaca, maupun menulis yang dikembangkan di dalam kurikulum
bahasa Indonesia yang mengarah pada pembentukan karakter sebagai bagian
terpenting didalam pendidikan karakter. Pembelajaran bersastra yang relevan
untuk pengembangan karakter peserta
didik adalah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik tumbuh
kesadaran untuk membaca dan menulis
karya sastra yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman
dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai,
mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya,
berkembangnya rasa dan karsa, serta terbinanya
watak dan kepribadian. Untuk membangun karakter dan kepribadian
peserta didik yang berakhlaq mulia,
berkarakter kuat, seperti kreatif, kompetitif, disiplin, menjunjung semangat
kebangsaan, serta siap untuk menjadi manusia yang tangguh dan untuk segera dapat memperbaiki berbagai permasalahan
kepribadian dan moral peserta didik yang sedang melanda bangsa akhir-akhir ini, diperlukan buku-buku
sastra yang memenuhi kriteria yang
sesuai untuk peserta didik, yakni
bahasanya indah; mengharukan pembacanya;
membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan; serta mendorong pembacanya untuk
berbuat baik kepada sesama manusia dan makhluk lainnya.
VI.
Referensi
Hirata, Andrea. 2005, Novel Laskar Pelangi. Bintang
Pustaka. Jakarta.
Fuadi, Ahmad. 2009, Novel
Negeri 5 Menara. Gramedia.
Jakarta
Dewi , Yulia Puspita. 2013, Nilai-Nilai Edukatif
Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Skenario Pembelajarannya Di SMA Kelas
XI, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Purworejo.
Nailasariy, Asniyah. 2010, Studi Deskriptif Tentang
Isi dan Metode Islam Dalam Novel Negeri 5 Menara, Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Kegunaan, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta
Surahman, Maman. 2006, Pendidikan Karakter Melalui
Pembelajaran Sastra, Fakultas Bahasa dan Seni, Univerditas Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta.
Dr. Achmad Rifai RC, M.pd, dan Dra. Catharina Tri
Anni. 2012, Psikologi Pendidikan, Semarang: Pusat Perkembangan MKU-MKDK UNNES.
Comments
Post a Comment