Meningkatkan Motivasi Belajar Serta Pendidikan Karakter Peserta Didik Melalui Pembelajaran Sastra dan Karya Sastra

    




  I.            Latar Belakang 
Mata pelajaran bahasa Indonesia hadir di berbagai jenjang pendidikan. Dalam kurikulum 2013, mata pelajaran bahasa Indonesia menduduki peran yang penting. Kurikulum 2013 yang disebut–sebut sebagai kurikulum berbasis teks menempatkan mata pelajaran bahasa Indonesia sebagai central atau pusat dalam pembelajarn di segala aspek.
Berkait dengan tujuan kurikulum 2013 mencapai pendidikan karakter yang bermutu, maka setiap mata pelajaran diwajibkan untuk memuat subtansi tersebut, termasuk mata pelajaran bahasa Indonesia. Wujud dari pendidikan karakter ini beragam, mulai dari konsep pikiran peserta didik yang berkarakter hingga wujud dalam perilaku yang nyata. Tentu saja perwujudan pendidikan karakter menuju pada sesuatu yang bersifat baik atau positif. Salah satu perwujudan tersebut ialah kepemilikan semangat atau motivasi belajar dari peserta didik dalam pemerolehan ilmu serta partisipasi positifnya dalam kegiatan pendidikan, terutama dalam kegiatan belajar.
Masalah yang kerapkali terjadi adalah kurangnya minat belajar dari peserta didik yang dikarenakan oleh beberapa faktor, baik faktor yang bersifat internal maupun faktor yang bersifat eksternal. Kurangnya motivasi belajar peserta didik akan berdampak pada kekondusifan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Bagaimana mungkin pembelajaran akan berhasil jika peserta didik belum mempunyai semanagt belajar. Sudah tentu, pembelajaran akan sia-sia walaupun pendidik/guru bersemangat dalam mengajar. Karenanya, pendidik harus pandai dalam memotivasi anak didiknya untuk belajar dan sadar akan pentingnya pendidikan.
Kegiatan dalam meningkatkan motivasi belajar yang dilakukan oleh pendidik/guru bermacam-macam. Alangkah baiknya jika dalam memotivasi peserta didik menggunakan metode yang relevan dengan mata pelajarn yang diampuhnya. Jadi, selain mampu memotivasi para siswa tujuan dalam pembelajaran dapat tercapai juga. Metode atau cara memotivasi semangat belajar dan sadar mengenai urgensi pendidikan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dapat dilakukan menggunakan media perantara yang dalam ranah psikologi pendidikan berkait dengan istilah dukungan sistem, dalam hal ini adalah melalui karya sastra. Melalui pembelajaran sastra menggunakan karya sastra dengan acuan dapat memotivasi siswa serta memberikan pendidikan karakter pada siswa.
    II.            Rumusan Masalah
A.  Hakikat Karya Sastra Dan Pendidikan Karakter
B.  Pembelajaran Bersastra yang Relevan Bagi Pengembangan Karakter
C.  Membangun Motivasi Belajar dan Pendidikan Karakter Melalui Karya Sastra
 III.            Paparan Ide Inovatif
A.    Hakikat Karya Sastra dan Pendidikan Karakter
Sastra  sebagai cerminan keadaan sosial budaya bangsa haruslah diwariskan kepada  generasi mudanya. Menurut Herfanda (2008:131), sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat kearah perubahan, termasuk perubahan karakter. Sebagai ekspresi seni bahasa  yang bersifat reflektif  sekaligus  interaktif, sastra  dapat menjadi spirit bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik, penguatan rasa  cinta  tanah air, serta  sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial budaya  dari keadaan yang terpuruk dan ’terjajah’ ke keadaan yang mandiri dan merdeka. Tentulah spirit-spirit tersebut menjadi bagian terpenting dari pendidikan karakter peserta  didik. Artinya, sastra tidak hanya  sekadar menjadi sesuatu yang mampu memberikan kemenarikan dan hiburan serta yang mampu menanamkan dan memupuk rasa keindahan, tetapi juga  yang mampu memberikan pencerahan mental dan intelektual.
Dalam Keadaan demikian, menurut Ismail dan Suryaman (2006)  sastra  haruslah sudah diperkenalkan kepada anak sejak usia dini. Hal ini dimaksudkan agar kemampuan literasi tumbuh sehingga budaya baca berkembang. Kemampuan literasi tidak dapat tumbuh tanpa usaha sadar dan terencana. Usaha  sadar dan terencana  itu di antaranya  adalah melalui penyediaan sarana  dan prasarana  baca, seperti buku dan perpustakaan, yang dapat dimulai dari buku-buku sastra. Selain mengandung keindahan, karya  sastra juga  memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan karya  sastra berangkat dari kenyataan sehingga  lahirlah paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan kembali rasa  kehidupan, baik bobotnya  maupun susunannya; menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati: kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial, serta dunia yang sarat objek (Ismail dan Suryaman, 2006). Penciptaannya dilakukan bersama-sama  dan secara  saling berjalinan, seperti terjadi dalam kehidupan yang kita  hayati sendiri. Namun, kenyataan ini di dalam sastra di hadirkan melalui proses kreatif. Artinya, bahan-bahan tentang kenyataan telah dipahami melalui proses penafsiran baru dalam  perspektif  pengarang. Karya  sastra  memang merupakan dokumen sosial, yang lebih dahulu disebut jalan keempat ke Kebenaran: melalui sastra  pembaca  seringkali jauh lebih baik daripada  melalui tulisan-tulisan nonsastra serta dapat menghayati hakikat eksistensi manusia dengan segala  permasalahannya. Disinilah segi keindahan dan kebermanfaatan dari karya  sastra, yakni gambaran kenyataan dalam subjektivitas pengarang. Kenyataan di dalam  karya sastra  ibarat bahan-bahan untuk membuat ”sop buntut”. ”Sop buntut”  yang siap disantap adalah karya sastra. Rasa, aroma, dan kekhasannya  adalah hasil dari subjektivitas ”sang koki”.
Secara  teori, Abrams (1981) telah memberikan pemetaan mengenai karya sastra  ke dalam empat paradigma. Paradigma pertama adalah mengenai karya sastra sebagai karya objektif (sesuatu yang otonom, terlepas  dari unsur apapun). Paradigma kedua adalah mengenai karya sastra sebagai karya mimesis (tiruan terhadap alam semesta). Paradigma  ketiga adalah mengenai karya sastra  sebagai karya  pragmatis  (yang memberikan manfaat bagi pembaca). Paradigma  keempat Adalah mengenai karya  sastra  sebagai karya  ekspresif (pengalaman dan pemikiran pencipta). Dengan demikian, karya  sastra  memang memiliki segi manfaat bagi pembaca, khususnya berkenaan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar pembaca  lebih mampu menerjemahkan persoalan-persoalan hidup melalui kesalehan sosial dan kesalehan ritual. Berdasarkan paparan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa  sastra  dengan demikian dapat berfungsi sebagai media pemahaman budaya suatu bangsa (yang di dalamnya terkandung pula pendidikan karakter).
Melalui novel, misalnya, model kehidupan dengan menampilkan tokoh-tokoh cerita  sebagai pelaku kehidupan menjadi representasi dari budaya  masyarakat (bangsa). Tokoh-tokoh cerita adalah tokoh-tokoh yang bersifat, bersikap, dan berwatak. Kita  dapat belajar dan memahami tentang berbagai aspek kehidupan melalui pemeranan oleh tokoh tersebut, termasuk berbagai motivasi yang dilatari oleh keadaan sosial budaya  tokoh itu. Hubungan yang terbangun antara  pembaca  dengan dunia cerita dalam  sastra adalah hubungan personal. Hubungan demikian akan berdampak kepada  terbangunnya  daya  kritis, daya  imajinasi, dan rasa estetis. Melalui sastra, pesertadidik tidak hanya  belajar budaya  konseptual dan intelektualistis, melainkan dihadapkan kepada  situasi atau model kehidupan konkret. Sastra dapat dipandang sebagai budaya  dalam tindak (culture in action), dan membaca  sastra Indonesia  misalnya, berarti mempelajari kehidupan bangsa Indonesia. Tentulah fungsi sastra tersebut perlu mendapatkan penegasan di dalam orientasi penciptaannya agar terbangun karakter yang kuat bagi pembaca. Menurut Herfanda (2008:132) bentuk penegasan di dalam penciptaan sastra  perlulah diorientasikan kepada  hal-hal yang bersifat pragmatik, yakni orientasi pada  kebermanfaatan sastra  sebagai media  pencerahan dan pencerdasan masyarakat.
B.     Pembelajaran Bersastra yang Relevan Bagi Pengembangan Karakter
Dalam pembelajaran bersastra dikehendaki terjadinya  kegiatan bersastra, yaitu kegiatan menggunakan bahasa  dan estetika  (Rusyana  dan Suryaman, 2005). Jadi, berbagai unsur sastra, seperti tokoh, penokohan, alur cerita, latar cerita di dalam prosa; unsur bentuk dan makna  di dalam puisi; dialog dan teks pelengkap di dalam drama tidaklah diajarkan secara berdiri sendiri sebagai unsur-unsur yang terpisah, melainkan dalam susunan yang padu sebagai karya cipta yang indah di dalam kegiatan mendengarkan, kegiatan berbicara, kegiatan membaca, dan kegiatan menulis. Kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis  itu digunakan dalam kegiatan berapresiasi, yaitu oleh seseorang dalam berhubungan dengan karya sastra. Sastra di dalam kegiatan berapresiasi digunakan untuk bertukar pikiran, perasaan, pendapat, imajinasi, dan sebagainya sehingga terjadi kegiatan sambut-menyambut. Kegiatan bersastra itu serempak dilakukan dalam kegiatan lain, baik kegiatan jasmani maupun kegiatan rohani. Kegiatan bersastra  dilakukan serempak dengan kegiatan menggunakan tangan, kaki, kepala, pancaindra, dan sebagainya. Kegiatan bersastra pun dilakukan serempak dengan kegiatan merasa, berpikir, berimajinasi, dan sebagainya. Kegiatan bersastra serta kegiatan berbuat  itu terjadi dalam konteks, berupa tempat, waktu, dan suasana. Didalamnya  terdapat tanah, air, udara, cahaya, tumbuhan, binatang, manusia dengan masyarakat dan budayanya, serta  Tuhan dan alam ciptan-Nya. Bagian-bagian yang ada  di dalam  pembelajaran bersastra  itulah yang dimaksud dengan konteks-konteks belajar.
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa  kegiatan bersastra yang efektif adalah kegiatan yang mengarah pada  berapresiasi secara  luas, bukan sebatas bahasan yang sifatnya kognitif. Hal ini sejalan dengan batasan menurut Effendi (1982:70)  bahwa  berapresiasi sastra  adalah kegiatan menggauli cipta  sastra  dengan sungguh-sungguh sampai menimbulkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta  sastra. Dengan demikian, tujuan pembelajaran bersastra adalah tumbuhnya  pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra pada diri peserta didik. Kegiatan berapresiasi meliputi membaca beragam karya sastra, mempelajari teori sastra, mempelajari esei dan kritik sastra, serta mempelajari sejarah sastra. Di samping itu, perlu pula  dilakukan kegiatan pendokumentasian atas  informasi mengenai karya  sastra  serta  kegiatan kreatif, yakni menulis karya sastra dan menulis bahasan terhadap karya  sastra. Kegiatan-kegiatan seperti ini tentulah akan mengatasi kendala  kurang tersedianya  buku-buku sastra diperpustakaan sekolah. Kegiatan pendokumentasian dan kegiatan kreatif itu dilihat dari segi pembelajaran ditujukan untuk meningkatkan apresiasi terhadap sastra  agar peserta didik memiliki kepekaan terhadap sastra  yang baik dan bermutu yang akhirnya  berkeinginan membacanya. Hal ini sesuai dengan salah satu bentuk dari pembelajaran bersastra, yakni melalui kewajiban bagi peserta  didik untuk membaca  karya-karya  sastra  bermutu. Di seluruh negara di dunia, sekolah mewajibkan para  peserta  didiknya  untuk membaca  buku sastra  (bukan bertujuan supaya peserta didik jadi sastrawan, tetapi agar terbentuk dan terlatih kebiasaan serta  kesenangan membaca  buku pada  umumnya).
Pembelajaran sastra, dengan demikian, ditujukan untuk berbagai kepentingan. Beberapa kepentingan di antaranya  adalah menjadikan peserta  didik mahir membaca dan menulis serta mahir mendengarkan dan melisankan. Jika kepentingan ini tercapai, belajar bersastra akan dirasakan manfaatnya oleh peserta  didik oleh karena  mereka  dipermudah untuk mempelajari bidang-bidang lainnya di sekolah. Dampak ikutan lainnya  adalah tumbuhnya  kebiasaan membaca  yang akhirnya  mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa dan karsa, serta terbinanya  watak dan kepribadian. Di sinilah esensi pendidikan karakter teridentifikasi dengan jelas didalam pembelajaran sastra.
C.    Membangun Motivasi Belajar dan Pendidikan Karakter Melaui Karya Sastra
Tema, penokohan, dan amanat merupakan unsur instrinsik yang ada di dalam karya sastra, termasuk dalam novel/cerpen. Secara sederhana, tema dapat diartikan sebagai gagasan atau pokok yang menjiwai sebuah karya sastra, contohnya tema mengenai kepahlawanan, pendidikan, kritik sosial, percintaan, persahabatan, kekeluargaan, dsb. Penokohan adalah perilaku, sikap serta sikap yang dimiliki dari masing-masing tokoh, misalnya baik, jahat, pengkhianat, setia, rela berkorban, rendah hati, sabar, bijaksana, pemarah, pemalu, angkuh, kejam, dsb. Sedankan amanat adalah pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca melalui karyanya. Contohnya, jangan menjadi anak yang sombong, sayangi teman terdekatmu, berhati-hati dalam berucap, dsb.
Karya sastra memang bersifat imajinatif. Meskipun demikian, cerita yang diangkat dalam karya sastra merupakan sebuah cerminan dari kehidupan. Kebanyakan cerita yang diangkat dalam karya sastra adalah permasalahn yang secara nyata terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, hanya saja dalam penyajiannya lebih didramatisasikan. Karena ceritanya diangkat permasalahan yang terjadi di kehidupan sehari-hari maka bukan tidak mungkin pembaca akan lebih dapat meresapi makna cerita serta mengapresiasi baik dan buruknya cerita tersebut.
Harapannya adalah pembaca yang dalam kajian ini adalah para peserta didik dapat tergugah dan merasa terkritiki oleh cerita yang disajikan oleh pendidik/guru. Kemudian, secara sadar mau berubah secara bertahap menuju ke arah yang lebih baik. Hal ini dilakukan karena banyak peserta didik yang membantah dan bersikeras menganggap bahwa apa yang dilakukannya selalu benar, menganggap sekolah sebagai perwujudan mengisi kegiatan saja tanpa mau menyadari dan mengusahakan yang terbaik dalam pemerolehan prestasi dan ilmu pengetahuan sebagai bekal masa depan.
Kendala yang mungkin terjadi dalam penerapan metode ini adalah kurangnya porsi pengenalan sastra. Jadi, dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, porsi pembelajaran bahasa lebih banyak daripada porsi pembelajaran sastra. Padahal, ranah bahasa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia pencapaian akhirnya adalah sama seperti mata pelajaran eksak yakni menuju ke segi kognitifitas. Berbeda dalam pencapaian pembelajaran sastra yang pencapaiannya adalah mematangkan kecerdasan emosi dan pengalaman. Dalam jam yang terbatas itu, pendidik/guru dapat menugaskan peserta didik untuk membaca novel/cerpen dengan cerita yang akan memotivasi atau dengan menonton karya sastra yang telah dialihwahanaan menjadi film.
Jadi, sebagai pilihan diantaranya adalah novel Sang Pemimpi, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi, dll.
1.    Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata
Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata menceritakan tentang kisah perjuangan sepuluh anak dari daerah yang terpencil di Belitong Timur dalam memperoleh pendidikan. Keadaan mereka jauh di bawah sederhana. Tidak ada fasilitas yang memadai di SD Muhammadiyah temoat mereka bersekolah. Sama seperti keadaan ekonomi mereka yang juga kurang dari cukup.
Pada novel ini juga berisi empat nilai pendidikan yang  dapat  diajarkan diluar lingkungan sekolah. Nilai-nilai pendidikan yang biasanya terdapat di lingkungan masyarakat. Empat nilai tersebut yakni nilai sosial, nilai kepribadian, nilai filosofis, dan nilai religi. Pembelajaran  Nilai-nilai edukatif dapat dilakukan Dengan model pembelajaran PAIKEM. Model pembelajaran PAIKEM adalah model-model pembelajaran  inovatif akan memperkaya guru dalam memgajar dan memotivasi siswa untuk lebih aktif, kreatif, dan menyenangkan dalam proses belajar mengajar di kelas. Konsep  pembelajaran Aktif ini sering  disebut dengan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM). Gambaran rancangan pembelajaran sastra dengan berbasis PAIKEM perlu dimulai dengan penjelasan mengenai ruang lingkup sastra itu sendiri sehingg siswa tau arah dan tujuan pembelajaran tersebut.
Hal yang menjadi sorotan ialah semangat mereka dalam memperoleh pendidikan serta usaha mereka dalam mewujudkan cita-cita. Mereka membuktikan bahwa cita-cita dapat tercapai bukan karena berasal dari kalangan yang berkecukupan, bukan pula dari fasilitas sekolah sebagai penunjang. Dalam keadaan yang kurangpun mereka mampu mewujudkan cita-cita dan berhasil memperoleh janji kehidupan yang lebih baik. Apalagi kita yang berada di lingkungan yang serba memudahkan juga dari sekolah yang memiliki fasilitas yang cukup atau menunjang.
2.    Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi
Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi menceritakan tentang persahabatan dari 6 remaja yang bersekolah di sebuah ponpes di Ponorogo. Mereka memegang teguh ajaran yang ustad mereka sampaikan, yaitu Man Jadda Wa Jadda yang artinya, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Jadi, dalam segala hal mereka mengupayakan yang terbaik yang bisa mereka lakukan.
Meskipun hanya bersekolah di ponpes, merea mempunyai cita-cita yang tinggi. Mereka mempunyai kegiatan yang unik, yakni setiap sore mereka bersantai di bawah sebuah menara yang ada di ponpes sembari saling berbagi cerita tentang keinginan atau cita-cita mereka kelak. Tetapi siapa sangka, mereka ternyata mampu mewujudkan cita-cita yang mereka impikan dengan usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras.
Motivasi yang terdapat dalam novel Negeri 5 Menara adalah dalam mencapai apapun dibutuhkan suatu usaha yang sungguh-sungguh serta kerja keras. Tanpa hal tersebut, cita-cita tidak akan tercapai, kalaupun tercapai tentu tidak akan terasa indah indah dan maksimal.
 IV.            Landasan Teori
Nilai edukatif merupakan  nilai menuju  kebaikan  dan keluhuran manusia. Tillman (2004 : 6), mengemukakan bahwa nilai edukatif, yaitu  nilai untuk mengekspresikan gagasan-gagasan, menggali apa yang  dapat kita lakukan  untuk membuat dunia lebih baik. Niilai edukatif mencangkup empat nilai, diantarnya nilai sosial, nilai kepribadian, nilai filosofis, dan nilai religius. Berikut ini disajikan pengertian empat nila leibih lanjut: Dari pendapat para ahli di tarik  kesimpulan bahwa nilai edukatif adalah batasan segala sesuatu  yang  mendidik ke arah kedewasaan, bersifat baik  maupun buruk  sehingga berguna bagi kehidupannya yang diperoleh  melalui proses pendidikan. Proses pendidikan bukan berarti hanya dapat dilakukan dalam satu tempat dan suatu waktu. Pendidikan juga dapat dilakukan dengan pemahaman, pemikiran, dan penikmatan karya sastra. Karya sastra sebagai pengemban nilai-nilai pendidikan diharapkan keberfungsiannya untuk  memberikan  pengaruh positif terhadap  cara berpikir pembaca mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Hal ini karena karya sastra merupakan salah satu  sarana mendidik diri serta orang  lain  sebagai unsur anggota masyarakat. Dalam karya sastra memuat nilai-nilai kehidupan karya sastra yang  bukan semata-mata sebagai hiburan belaka tetapi juga harus bisa memberikan ajaran kebaikan  kepada pembacanya atau  para penikmat sastra dengan demikian  karya sastra bukan semata-mata sebagai karya seni saja tetapi bisa juga tuntunan atau ajaran-ajaran kehidupan bagi masyarakat, karena sastra yang  baik  mampu mempengaruhi sikap dan tingkah laku pembaca atau penikmat sastra, perilaku itu akan nampak dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai pribadi (individu) maupun sebagai makhluk soisal.
    V.            Kesimpulan
Secara hakiki sastra merupakan media  pencerahan mental dan intelektual peserta didik yang menjadi bagian terpenting di dalam pendidikan karakter, seperti kebangkitan suatu bangsa  ke arah yang lebih baik, penguatan rasa cinta tanah air, serta sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial budaya  melalui kegiatan literasi sehingga budaya baca berkembang. Terdapat  beragam materi bersastra yang harus diapresiasi siswa, baik melalui kegiatan mendengarkan, melisankan, membaca, maupun menulis yang dikembangkan di dalam kurikulum bahasa  Indonesia yang mengarah pada  pembentukan karakter sebagai bagian terpenting didalam pendidikan karakter. Pembelajaran bersastra yang relevan untuk pengembangan karakter peserta  didik adalah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik tumbuh kesadaran untuk membaca dan menulis  karya  sastra  yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya  rasa dan karsa, serta  terbinanya  watak dan kepribadian. Untuk membangun karakter dan kepribadian peserta  didik yang berakhlaq mulia, berkarakter kuat, seperti kreatif, kompetitif, disiplin, menjunjung semangat kebangsaan, serta siap untuk menjadi manusia yang tangguh dan untuk segera  dapat memperbaiki berbagai permasalahan kepribadian dan moral peserta didik yang sedang melanda  bangsa akhir-akhir ini, diperlukan buku-buku sastra  yang memenuhi kriteria yang sesuai untuk peserta  didik, yakni bahasanya  indah; mengharukan pembacanya; membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan; serta mendorong pembacanya untuk berbuat baik kepada  sesama  manusia dan makhluk lainnya.
 VI.            Referensi
Hirata, Andrea. 2005, Novel Laskar Pelangi. Bintang Pustaka. Jakarta.
Fuadi, Ahmad. 2009,  Novel Negeri 5 Menara. Gramedia. Jakarta
Dewi , Yulia Puspita. 2013, Nilai-Nilai Edukatif Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Skenario Pembelajarannya Di SMA Kelas XI, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purworejo, Purworejo.
Nailasariy, Asniyah. 2010, Studi Deskriptif Tentang Isi dan Metode Islam Dalam Novel Negeri 5 Menara, Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Kegunaan, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta
Surahman, Maman. 2006, Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Sastra, Fakultas Bahasa dan Seni, Univerditas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Dr. Achmad Rifai RC, M.pd, dan Dra. Catharina Tri Anni. 2012, Psikologi Pendidikan, Semarang: Pusat Perkembangan MKU-MKDK UNNES.

Comments

Popular posts from this blog

Sinopsis Novel "Raumanen" Karya Marianne Katoppo

Ulasan Kumpulan drama "Domba-domba Revolusi" Karya B. Soelarto