Setangkai Bunga dalam Sepi Karya Khoyriyah Asadah


Setangkai Bunga dalam Sepi
Malam yang tengik, di jalanan terdengar samar seretan langkah kaki menapaki jalanan hingga terlihat kapalan kaki semakin menebal, setebal tekat anak kecil ini tuk pertahankan hidupnya.  “Ya, tekatku dalam hidup. Ini hidupku, siapa lagi yang akan berjuang, jika bukan aku? Toh, ini hidupku.” Sholeh dalam hati bergumam seraya mengingat kejadian semalam.
Seorang ibu yang sering mendongeng untuknya, menghilang setelah ia terlelap dalam tidurnya. Mentari pun menunjukkan kecerahannya melalui sela-sela kardus yang bolong hingga menusuk dimatanya.
“Ibu, dimana ibu?” teriakku setelah bangun dari lelapku, aku mencari dimana ibuku. Sela-sela sudut telah ku temui, tak ku temukan juga rupanya. Hilang, benar-benar hilang dan menghilang. Semalam ku mendengar beliau bersenandung dalam dongeng. Ibu jahat, tega meninggalkanku sendirian. Sendiri, benar-benar sendiri, sepi, menepi dalam diam dan ku termangu.  
Terakhir ibu berkata, “Anakku Burhan, jangan pernah menyerah dalam hidupmu. Semua masalah dalam hidup ini pasti akan terselesaikan. Kamu memang anak orang miskin, namun jangan sekali-kali menjadi peminta-minta di jalanan. Katakan pada masalah, “Aku bisa melaluimu, karena aku punya Tuhan!” Seperti hanya mimpi, hari ini Ibu meninggalkanku sendirian di rumah kardus yang lusuh ini. Aaaaaaaaa. Tidak, tidak mungkin. Aku masih belum percaya.
Lalu ku putuskan untuk mencarinya, mungkin ibu hanya pergi untuk membeli sarapan. Aku tetap telusuri jalanan ibu kota yang sesak ini sambil bercucuran air mata. Walau aku mengerti, tak akan ku temukan Ibu dalam jalan yang tak terarah ini. Tak ada Ibu, taka da ayah karena ia sudah lama meninggalkan aku dan ibu.
Pagi, siang, hingga malam ku telan dengan tangisan.
Hingga malam itu, bersama sisa hujan aku mengadu. Aku menangis dan terus menangis hingga pagi tiba.
Aku teringat pesan yang ditinggalkan Ibu, jika ada masalah aku harus berkata, “Aku bisa melaluimu, karena aku punya Tuhan!”
Hingga ku berucap pada pagi, “Pagi mentari, kini aku memiliki semangat baru tuk lewati hari-hariku.” Ya, aku bertekat untuk selalu semangat menjalani hidup ini, seperti kata Ibu malam itu.  Tepat dipojok terminal, aku bertemu dengan seorang bapak yang memberi bunga untukku. Serangkai bunga yang harum, entah bunga macam apa aku tak mengerti. Terimakasihku menutup perjumpaan kita. Sembari menghilangkan bapak itu dalam pandanganku, aku berjalan menuju jembatan pinggir jalan. Aku mendatangi warteg yang dulu sering aku datangi bersama ibu. Sampai disana, aku ditimpa pertanyaan dan kata nasihat dari para pembeli. Aku tak meminta apapun, namun ibu pemilik warteg itu menyuguhkan sepiring nasi berlauk dan segelas teh hangat untukku. Alhamdulillah, rejeki Burhan anak yang saleh. Aku hanya membayarnya dengan ucap terimakasih dan doa agar rejeki ibu lancar.
Aku memutuskan untuk berjalan lurus kearah utara. Dipersimpangan jalan ada wanita muda memanggilku, “Dik, dik, kemarilah dik.” Ia memanggilku dengan sebutan adik. Tanpa ragu aku berjalan menuju kearah kakak yang cantik itu. “Ada apa kak?” aku sapa dengan tanya.
“Coba lihat bungamu yang cantik itu dik”, ucapnya. Lalu aku memberikan bunga itu kepadanya. Aku tak mengerti, mengapa tiba-tiba kakak itu meminta bunganya dan berkata bahwa ingin membelinya. Sungguh, aku tak mengerti. Tapi, kakak itu berucap. “Bunga ini bunga langka, maka dari itu saya beli.” Tanpa berpikir apapun, aku berikan bunga itu kepada kakak yang cantik itu, Feronika namanya. Seperti nama dari keluarga bule, pasti kaya. (pikirku dalam hati).
Subhanalloh, rejeki Burhan anak saleh. “Terimakasih ya Allah, hari ini Burhan mendapatkan rejeki dari Mu. “ Ucapku dalam hati. Lalu aku gunakan uang itu untuk membeli bunga, hingga akhirnya aku menjadi penjual bunga keliling. Dengan pendapatanku, aku dapat bertahan hidup. Namun, tak sesekali selalu ada preman yang berusaha mencuri uangku.
Sekali dua kali, aku tidak melawan. Namun selanjutnya, aku memiliki ide untuk melawannya. Memang aku hanya sendiri, namun aku punya Tuhan yang selalu menemaniku. Ibu yang selalu ada dalam semangatku, dengan memikirkan Ibu aku dapat bertahan hidup hingga saat ini. Semangatku, ya Ibuku.
Siang hari, ketika aku melawan para preman itu dan ditolong seorang kakak mahasiswa hingga aku dibawa lari ke ruang persembunyian dalam gang kecil. Tepat dibawah pohon mangga, Kak Rangga melontarkan sejuta pertanyaan, hingga aku menceritakan segala kejadian yang menimpaku, dari Ibu pergi meninggalkanku tanpa sebuah alasan hingga kini aku disampingnya. Lalu Kak Rangga pun mengajari aku belajar membaca, menulis, menghitung dan mengajak jalan-jalan melihat keramaian ibu kota.
Satu bulan, dua bulan hingga satu tahun berlalu, Kak Rangga yang selalu menjengukku dua hari sekali, terkadang setiap hari. Aku mendapatkan keluarga baru, yang selalu menasihatiku, menghiburku, dan menemaniku berjualan bunga.
Bertemulah kita sore itu, aku bersama Kak Rangga, menolong seorang pria paruh baya yang menjadi korban tabrak lari. Kak Rangga bergerak cepat membawa pria itu ke Rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, aku baru menyadari bahwa itu adalah Bapak yang kala itu memberiku bunga, dan dengan bunga itu aku dapat bertahan hidup hingga detik ini.
Tidak aku sangka, aku dipertemukan kembali kepada orang yang telah menolongku. Pak Bambang namanya, setelah beliau sadar aku langsung mencium tangannya, ku ucapkan segala terimaksih dan ku ceritakan pula bagaimana bunga ini membantuku bertahan hidup.
Pak Bambang pun berucap terimakasih karena telah ditolong oleh Kak Rangga, karena kecekatannya yang segera melarikan beliau ke Rumah sakit, jika tidak kemungkinan akan terjadi pendarahan yang besar. Hari itu, aku putuskan untuk menemani Pak Bambang di Rumah Sakit, karena Kak Rangga harus berangkat kuliah. Senyum haru Pak Bambang membuatku semakin bahagia, terasa kembali sosok Ayah yang selama ini hilang dalam hidupku.
Pak Bambang, pria tua dengan setangkai bunga yang kala itu menghampiriku, kini ia terbaring sakit disampingku. “Akan ku berikan yang terbaik untuk kesembuhannya.” Ucapku dalam hati.
Bunga dengan ketulusan hati memberikanku kehidupan hingga bunga-bunga itu semakin menemaniku. Kios bunga yang aku miliki sekarang berawal darinya. Dari Pria paruh baya itu.
 Kehidupan begitu unik, tak tahu kita akan ditinggalkan, ditemani, dan dipertemukan dengan siapapun dan kapanpun. Ibu yang tega meninggalkanku, hingga sekarang aku tak dapat menemukannya. Aku dipertemukan malaikat-malaikat Tuhan yang menemaniku, hingga kini aku sudah dewasa. Aku dipertemukan dengan bunga-bunga cantik yang menemani kecilku hingga dewasaku.
Terimakasih bunga, terimakasih Pak Bambang, Terimakasih Kak Feronika, Terimaksih Kak Rangga, dan Terimakasih Tuhan hidupku asik, walau tanpa Ibu dan Ayah.

Bukan saatnya lagi untuk menyalahkan hidup karena hidup tak salah, hidup itu bagaikan sebuah permainan dalam playstatio, pintar-pintar pemegang stik untuk memenangkan permainan itu. Permainan yang kalah berarti hidup susah dan permainan yang menang berarti hidup bahagia. Tapi hidup tak semudah permainan,  yang hanya bergantung pada taktik si pemain. Hidup lebih sulit dari pada itu, tapi hidup akan menjadi asik, karena kita selalu ditemaniNya, dimanapun kita berada. Tuhan selalu punya rencana yang lain, yang lebih baik dari apa yang kita rencanakan. 

Comments

  1. tata letak menu dengan postingan saling tumpuk-menumpuk, jadi pembaca akan bingung. isi sudah menarik. :)

    ReplyDelete
  2. Waah, hay lindaa.. kamu salah, sebenarnya tidak saling menumpuk melainkan waktu kamu komentar tadi, aku baru berproses dalam editing html nya. Nah, jadi kamu nilainya pas belum fix. Cobadeh dinilai lagi. Oke? Terimakasih sudah berkunjung. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sinopsis Novel "Raumanen" Karya Marianne Katoppo

Meningkatkan Motivasi Belajar Serta Pendidikan Karakter Peserta Didik Melalui Pembelajaran Sastra dan Karya Sastra

Ulasan Kumpulan drama "Domba-domba Revolusi" Karya B. Soelarto