Rangkuman Buku "Teori Kesusasteraan" Karya Wellek dan Warren
A. Definisi dan Batasan
1. Sastra dan Studi Sastra Pertama-tama kita harus membedakan antara satra dan studi sastra. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni, sedangkan studi sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Memang susah mengaburkan perbedaan ini. Seorang penelaah sastra harus dapat menerjemahkan pengalaman sastranya dalam bahasa ilmiah, dan harus dapat menjabarkannya dalam uraian jelas dan rasional. Mungkin saja bahan studinya sedikit banyak mengandung unsur yang sangat tidak rasional. Namun, dalam hal ini posisi penelaah tidak lebih dari posisi seorang sejarawan seni rupa atau musik bahkan seorang ahli sosiologi atau anatomi. Jelas, hubungan sastra dan studi sastra menimbulkan beberapa masalah yang rumit. Jalan keluar yang pernah ditawarkan bermacam-macam. Sejumlah teoritikus menolak mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu, dan menganjurkan “penciptaan ulang” (second creation) sebagai gantinya seperti yang dilakukan oleh Walter Pater dan Jhon Addington Symond. Bagi kita sekarang, “kritik kreatif” semacam itu sama dengan duplikasi yang mubadzir, atau hanya merupakan terjemahan suatu karya seni menjadi karya seni yang lain, dan tiruan biasanya selalu lebih rendah mutunya. Teoritikus yang lain mengambil kesimpulan yang sama skeptisnya. Menurut mereka, sastra tidak boleh “ditelaah” sama sekali. Sastra boleh dibaca, dinikmati, dan diapresiasi. Selebihnya, yang bisa dilakukan adalah mengumpulkan berbagai informasi mengenai karya sastra. Salah satu gejala yang di timbulkan dengan sikap skeptis ini adalah penekanan pada “fakta-fakta” disekitar karya satra, dan tak boleh ada usaha untuk mencari lebih jauh. Masalahnya adalah : bagaimana kita secara ilmiah mendekati seni, khususnya seni satra? Apakah bisa ? kalau bisa, bagaimana caranya? Salah satu jawaban yang pernah di berikan adalah dengan menerapkan (mentransfer) metode-metode yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam pada studi satara. Misalnya, sikap-sikap ilmiah seperti subjektivitas, kepastian, dan sikap tidak terlibat. Usaha lain adalah meniru metode ilmu-ilmu alam melalui studi sumber, asal, dan penyebab “metode genetik”. Sayang sekali transferan semacam ini sekarang sudah tidak lagi memenuhi harapan seperti yang ditawarkan semula. Memang metode ilmiah bisa sangat bernilai pada pendekatan tertentu, atau bila dibatasi pada penggunaan teknik tertentu saja, misalnya pemakaian statistik dalam kritik naskah atau studi matra. Tak heran bila I.A. Richards berseloroh bahwa ilmu syaraflah yang akan berjaya di masa depan untuk mengatasi semua masalah sastra. Bagaimanapun, kita harus kembali pada masalah-masalah yang muncul dari penerapan ilmu-ilmu alam pada studi sastra. Metode-metode dasar seperti induksi, deduksi, analisis, sintesis, dan perbandingan sudah umum dipakai di setiap jenis ilmu pengetahuan yang sistematis, termasuk dalam studi satra. Jauh sebelum pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan sebenarnya filsafat, sejarah dan ilmu kenegaraan, teologi, dan bahkan fifologi telah mengembangkan metode-metode yang absah. Jika disempurnakan, ilmu-ilmu budaya dapat mengukuhkan peranannya kembali. Hanya perlu ditekankan di sini bahwa tujuan ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan ilmu-ilmu budaya. Yang rumit adalah menjabarkan perbedaan itu. Pada tahun 1883, Wilhelm Dilthey membedakan metode ilmu-ilmu alam dengan sejarah, dengan cara mengkontraskan antara penjelasan dan pemahaman. menurut Dilthey, seorang ilmuan melihat suatu peristiwa dari penyebabnya, sedangkan seorang sejarawan mencoba memahami maknanya. Proses pemahaman ini bersifat individual dan bahkan subjektif. Setahun kemudian, Wilhem Windelband (seorang sejarawan filsafat terkemuka) juga menyerang pandangan bahwa ilmu sejarah harus meniru metode ilmu-ilmu alam. Para ahli ilmu pengetahuan alam membuat hukum-hukum yang bersifat umum, sedang sejarawan mempelajari fakta yang unik dan jarang terjadi. Pandangan ini dikembangkan dan sedikit disempurnakan oleh Heinrich Rickert. Ia tidak menekankan perbedaan antara metode generalisai dan individualisasi, tetapi menyorot perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu budaya. Ilmu budaya, menurutnya, tertarik pada hal-hal yang kongkret dan individual. Tetapi hal-hal yang individual itu hanya dapat ditemukan dan dipahami dengan mengacu pada sistem nilai nama lain dari kebudayaan. Di Prancis, A.D. Xenopol membedakan ilmu-ilmu alam dan sejarah. Ilmu-ilmu alam mempelajari “fakta-fakta yang berulang”, sedangkan sejarahmengkaji “fakta-fakta yang silih berganti”. Singkatnya, ada dua jalan keluar yang ekstrim. Cara pertama adalah mengikuti metode-metode ilmiah atau ilmu sejarah, dengan sekedar mengumpulkan fakta-fakta atau menyusun “hukum-hukum” sejarah yang sangat umum. Cara kedua adalah menekankan subjektivitas dan individualitas, serta keunikan karya sastra. Lagi pula, semua kat ayang membangun setiap karya sastra pada dasarnya bersifat “umum”, mewakili pengertian tertentu dan termasuk penggolongan jenis kata tertentu, tidak ada kata yang khusus dan berdiri sendiri. Akhirnya, perlu diingat bahwa setiap karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi : individual dan umum sekaligus. Yang dimaksudkan dengan individual di sini tidak sama dengan seratus persen unik dan khusus. Jadi, kita dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusastraan, atau kesenian pada umumnya. Sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra sama-sama mencoba mencirikan kekhasan sebuah karya sastra, seorang pengarang, suatu periode, atau kesusastraan nasional tertentu. Tetapi usaha menguraikan ciri-ciri khas karya sastra hanya dapat dilakukakan secara universal jika didasarkan pada suatu teori sastra. Teori sastra inilah yang sangat di butuhkan oleh studi sastra saat ini. Ini tidak berati bahwa pemahaman dan apresiasi tidak penting lagi. Pemahaman dan apresiasi adalah syarat yang harus dipenuhi sebelum kita mengembangkan pengetahuan dan pemikiran terhadap karya sastra. Studi sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus.
2. Sifat-Sifat Sastra Sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Menurut teori Greenlaw dan praktek banyak ilmuwan lain, studi sastra hanya berkaitan erat, tapi identik dengan sejarah kebudayaan. Istilah “sastra” paling tepat ditetapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Istilah lain “fiksi” dan “puisi”, terlalu sempit pengertiannya. Padahal seharusnya kesusasteraan juga meliputi sastra lisan. Cara paling mudah memecahkan masalah ini dengan memerinci penggunaan bahasa yang khas sastra. Bahasa adalah bahan baku kesusasteraan. Untuk melihat penggunaan bahasa yang khas sastra, kita harus membedakan bahasa sastra, bahasa sehari-hari dan bahasa ilmiah. Bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonim. Memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan tak rasional. Bahasa sastra juga penuh asosiasi. Dengan kata lain sastra penuh makna konotatif. Sulit untuk membedakan bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari bukanlah konsep yang seragam. Bahasa percakapan, hasa perdagangan, bahasa resmi, bahasa keagamaan, dan slang muda termasuk bahasa sehari-hari. Apa yang disebut bahasa sastra juga terdapat bahasa lainnya. Dalam bahasa sehari-hari terdapat juga mempunyai fungsi ekspresif, penuh konsep irasional dan mengalami perubahan konteks sesuai dengan perkembangan sejarah bahasa. , walau adakalanya bahasa sehari-hari mengusahakan ketepatan seperti bahasa ilmiah. Jadi dapat dibedakan dalam karya sastra bahasa dapat dimanfaatkan secara lebih sistematis dan dengansengaja. Perbedaan sastra dan nonsastra meliputi; organisasi, ekspresi pribadi, pengolahan, penyampaian melalui medium, tujuan yang tidak praktis, dan fiksional.
3. Fungsi Sastra Edgar Allan Poe melontarkan sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Menurut sejumlah teoritikus, fungsi sastra adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekana emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu.
4. Teori, Kritik, dan Sejarah Sastra Dalam wilayah studi sastra perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Yang pertama-tama perlu dipilah adalah perbedaan sudut pandang yang mendasar. Antara teori, kritik, dan sejarah sastra tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan criteria yang ada pada satra itu sendiri. Kritik sastra adalah studi karya-karya konkret (pendekatan statis). Dan sejarah sastra adalah mempelajari dan menyatukan sejarah sastra masa kini dan masa lampau.
5. Sastra Umum, Sastra Bandingan, dan Sastra Nasional Istilah sastra bandingan dalam prakteknya menyangkut bidang studi dan masalah lain. Pertama dipakai untuk studi sastra lisan, kedua mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih, dan yang ketiga sastra bandingan disamakan dengan studi sastra menyeluruh. Sastra bandingan mempelajari hubungan dua kesusastraan atau lebih. Sastra umum mempelajari gerakan dan aliran sastra yang melampaui batas nasional. Sastra nasional menuntut ppenguasaan bahasa asing dan keberanian untuk menyisihkan rasa kedaerahan yang sulit dihilangkan. B. Penelitian Pendahuluan
6. Memilih dan Menyusun Naskah Salah satu kegiatan ilmuwan adalah mengumpulkan naskah yang akan dipelajarinya, memulihkan dari dampak waktu, dan meneliti identitas pengarang, keaslian, dan tahun penciptaan. Dan semua ini adalah kegiatan persiapan. Ada dua tingkat kegiatan persiapan dalam memilih naskah : (1) Menyusun dan menyiapkan naskah, (2) Menentukan urutan karya menurut waktu penciptaan, memeriksa keaslian, memastikan pengarang naskah, meneliti karya kerja sama dan karya yang sudah diperbaiki oleh pengarang atau penerbit.
Dan ada 5 kegiatan dalam menyusun naskah : (1) Menyusun naskah dan mengumpulkan naskah dalam bentuk manuskrip atau cetakan (2) Membuat katalog atau keterangan bibliografi (3) Proses editing (4) Proses menetapkan silsilah teks berbeda dengan kritik teks (5) Koreksi teks. C. Studi Sastra dengan Pendekatan Ekstrinsik
7. Sastra dan Biografi Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri yakni Sang Pengarang. Biografi dapat dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya.Dan dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Permasalahan penulis biografi adalah permasalahan sejarah. Penulis biografi harus menginterpretasikan dokumen, surat, laporan saksi mata, ingatan, dan pernyataan otbiografis.
8. Sastra dan Psikologi Psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan. (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau studi pribadi. (2) Studi proses kreatif. (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. (4) Mempelajari dampak sastra pada pembaca. Kemungkinan (1) & (2) bagian dari psikologi seni. Kemungkinan (3) berkaitan pada bidang sastra. Kemungkinan (4) pada bab sastra dan masyarakat. Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang, yang mana pada bagian akhir ini menurut mereka merupakan tahapan yang paling kreatif.
9. Sastra dan Masyarakat Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Penyair adalah warga masyarakat yang mempunyai status khusus, maka dari itu dia mendapat pengakuan dan penghargaan masyarakat dan mempunyai masa-walaupun hanya secara teoretis. Pembahasan hubungan sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari frase De Bonald bahwa” sastra adalah ungkapan masyarakat “ (Literature is an expression of society). Masalah kritik yang berbau penilaian bisa kita temukan dengan menemukan hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat. Hubungan yang bersifat deskriptif : (1) Sosiologi pengarang, profesi pengarang, institusi sastra (2) Isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri (3) Permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra.
10. Sastra dan Pemikiran Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiuran-pemikiran hebat. Karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran. D. Studi Sastra dengan Pendekatan Instrinsik
11. Sastra dan Seni Hubungan sastra dengan seni rupa dan seni musik sangat beragam dan rumit. Kadang-kadang puisi mendapatkan inspirasi dari lukisan, patung, atau musik. Penyair pasti mempunyai teori dan selera tersendiri mengenai lukisan dan selara tersendiri merngenai lukisan dan pelukis. Teori dan selera terhadap seni ini bisa dipelajari dan sedikit banyak dikaitkan dengan teori dan selera sastra. Sebaliknya, sebagaimana sastra terutama lirik dan drama banyak memakai musik, sastra juga bisa menjadi tema seniu lukis atau musik terutama seni suara dan musik program. Karya sastra sering menghasilkan efek yang sama dengan efek sebuah lukisan atau menghasilkan efek musikal. Kita tidak dapat mengabaikan kebiasaan saling meminjam antara beberapa cabang seni, kenyataannya kerja sama itu terkadang menghasilkan efek yang diinginkan. Hal-hal objektif yang dapat dianalisis dari puisi itu hanyalah pola mantra yang lamban, serius, dan diksi yang aneh sehingga harus memperhatikan tiap katayang membentuknya. Unsur musik dalam sajak, kalau dianalisis ternyata berbeda dengan melodi musik. Unsur musik lebih merupakan susuanan pola fonetik, penghindaran akumulasi konsonan, dan efek ritmis tertentu. Puisi dengan nilai sastra tinggi bisa rusak dan kabur strukturnya jika dijadikan musikwalaupun musiknya sangat bagus. Memang sering terjadi kerjasama antara puisi dan musik, tetapi musik yang paling bagus tidak cenderung kea rah musik dan musik yang palin indah tidak membutuhkan kata-kata. Kesejajaran sastra dan seni sering membuat orang merasa bahwa lukisan dan puisi tertentu menghasilkan suasana hati yang sama. Tetapi kesejajaran sewmacam ini kurang bermanfaat untuk analisis yang tepat. Kegembiraan mewndengarkan musik adalah emosi yang mengikuti dan terkait pada pola musik tersebut. Jadi, kesejajaran dua cabang seni yang hanya didasarkan pada reaksi emosional penonton saja, tidak akan membantu meningkatkan pengetahuan. Teori dan selera terhadap seni bisa dipelajari dan sedikit banyak dikaitkan dengan teori dan selera sastra masing-masing ( penyair ataupun pelukis). Sastra -terutama lirik dan drama- banyak memakai musik, sastra juga bisa menjadi tema seni lukis atau musik -terutama seni suara dan musik program. Disamping masalah sumber dan pengaruh, inspirasi dan kerja sama, ada masalah lain yang penting yakni karya sastra sering menghasilkan efek yang sama dengan efek sebuah lukisan atau mengahasilkan efek musikal.
12. Modus keberadaan karya sastra Tulisan dan cetakan telah memungkinkan kesinambungan sejarah sastra, serta banyak meningkatkan keutuhan dan kesatuan karya sastra. Fungsi cetakan pada puisi tidak terbatas pada hal-hal yang luar biasa karena puisi adalah pengalaman pembacanya yang mana puisi tak lebih dari proses mental masing-masing pembaca. Jadi sama dengan keadaan mental atau proses yang kita rasakan ketika membaca dan mendengarkan puisi. Teknis grafis lebih banyak dipakai untuk sastra daripada untuk musik. Bahkan pada periode tertentu dalam sejarah puisi, lukisan grafis telah menjadi bagian dari puisi.
13. Efoni, irama dan mantra Karya sastra adalah urutan bunyi yang menghasilkan makna, maka dalam menganalisis efek bunyi kita mempunyai dua prinsip : (1) Kita harus membedakan penyajian puisi secara lisan dan pola suara puisi. (2) Bunyi harus dianalisis terpisah dari makna. Dua macam unsure bunyi : (1) unsur bunyi yang melekatat misalnya kekhasan bunyi a atau o, terlepas dari kuantitasnya. (2) unsur bunyi yang terkait -dasar irama dan matra- adalah titi-nada lama bunyi, tekanan, dan pengulangan. Intonasi tidak dama dengan melodi. Matra mengatur sifat bunyi bahasa yang bersangkutan dan mengatur irama prosa kea rah isokronisme.
14. Gaya dan stilistika Karya sastra hanyalah seleksi dari beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu. F.W.Bateson mengemukakan bahwa sastra adalah bagian dari sejarah umum bahasa dan sangat tergantung padanya. Dalam tesisnya dia berkata : pengaruh zaman pada sebuah puisi tidak dapat dilihat dari penyairnya, tapi dari bahasa yang dipakainya. Stilistika tidak dapat diterapkan dengan baik tanpa dasar linguistic yang kua, karena salah satu perhatian utamanya adalah kontras system bahasa karya sastra dengan penggunaan bahasa pada zamannya. Manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis.
15. Citra, metafora, simbol, dan mitos Pencitraan adalah topic yang termasuk dalam bidang psikologi dan studi sastra. Dalam psikologi, kata citra berarti reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi. Pebedaan penting antara symbol dengan metafora dan citra adalah symbol secara terus-menerus menampilkan dirinya dan citra dapat dibangkitkan melalui sebuah metafora. Mitos adalah naratif, cerita, yang dikontraskan dengan wacana dialektis, dan eksposisi. Mitos bersifat irasional dan intuitif, bukan uraian filosofis yang sistematis.
16. Sifat dan ragam fiksi naratif Realitas dalam karya fiksi yakni ilusi kenyataan dan kesan menyakinkan yang ditampilkan kepada pembaca, tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari. Fiktif naratif atau cerita berkaitan dengan waktu atau urutan waktu yang banyak bersumber dari sejarah. Pola utama fiksi naratif adalah sifatnya yang mencakup semua unsure penceritaan. Dalam bahasa inggris ada dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romansa yang bersifat puitis dan epik dan novel yang bersifat realistis.
17. Genre sastra Teori genre adalah suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu atau tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu. Aristoteles dan Horace memberikan dasar klasik untuk pengembangan teori genre yakni ada dua penggolongan jenis utama sastra yaitu tragedy dan epik. Tetapi istilah genre perlu diterapkan untuk pembagian jenis secara histories menjadi tragedy dan komedi.
18. Penelitian Seseorang harus menghargai sastra sebagai sastra itu sendiri dan orang harus memberi penilaian terhadap sastra dengan mengacu pada tingkatan nilai sastra sendiri. Antara sifat, fungsi, dan penilaian terhadap sastra harus saling berkaitan. Konsep tentang kemurnian adalah salah satu unsure analisis. Yaitu unsure susunan dan fungsi. Yang menentukan suatu karya sastra atau bukan sastra bukanlah unsure-unsurnya, tetapi bagaimana unsure-unsur itu disatukan dan berfungsi.
Comments
Post a Comment